Selasa, 18 Februari 2014

Pertunjukan Jaran Kepang Desa Gondang




Setiap daerah mempunyai kebiasaan mempertunjukan seni rakyat dalam menyambut tamu yang dihormati. Di Jawa Tengah terdapat beberapa bentuk kesenian yang sering ditampilkan untuk keperluan tersebut. Salah satu di antaranya adalah seni rakyat yang dikenal dengan kuda lumping, yaitu suatu tarian yang menggambarkan gerakan-gerakan kuda. Kuda lumping merupakan salah satu cabang kesenian yang sudah lama tumbuh dan berkembang di berbagai daerah kabupaten di Jawa Tengah. Yang tercatat masih memiliki kesenian kuda lumping ini antara lain Kabupaten Magelang, Semarang, Kendal, Pekalongan, Batang, Tegal, Pemalang, Wonosobo dan Temanggung. Masing-masing kabupaten mempunyai ciri khas. 

Kesenian kuda lumping semula dikenal sebagai kesenian jathilan yang selanjutnya dikenal dengan (kuda) jaran kepang. Kuda lumping menjadi nama yang lebih populer dibandingkan dengan kedua nama sebelumnya. Nama "kuda lumping" bukan saja dikenal di Jawa Tengah, melainkan sudah secara nasional. Jathilan berasal dari kata jathil yang mengandung arti menimbulkan gerak reflek melonjak, sebagai tanda memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan ini tersirat dalam tarian yang diilhami oleh ceritera Panji yang mengisahkan pertemuan Panji Asmorobangun dengan Dewi Sekartaji. Disebut juga jaran kepang karena tarian ini mempergunakan alat peraga berupa jaranan (kuda-kudaan) yang bahannya terbuat dari kepang (bambu yang dianyam), Sedangkan kuda lumping juga mempunyai arti yang sama karena lumping berarti kulit atau kulit bambu yang dianyam, sehingga secara bebas dapat diartikan sebagai pertunjukan dengan kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu atau kulit bambu. Mengamati perkembangan kuda lumping dari masa ke masa akan tampak suatu bentuk tari yang bersumber dari cerita Panji, yaitu cerita yang berasal dari jaman kerajaan Jenggala dan Kediri. Ceritera ini mengalami kejayaan pada zaman kerajaan Majapahit. 

Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya bentuk-bentuk seni tari yang bersumber pada cerita yang sama di tempat-tempat lain yang mendapat pengaruh kerajaan Majapahit. Pada masa tersebut masyarakat memeluk agama Hindu, yang percaya akan adanya roh leluhur. Pertunjukan jathilan sebelumnya dimaksudkan untuk memanggil roh-roh halus dari nenek moyang. Dari tradisi yang turun temurun dan pengaruh situasi menyebkan pertunjukan kuda lumping dipentaskan hingga para pemainnya kesurupan (kehilangan kesadaran). Dalam keadaan demikian pemain mampu melakukan hal-hal di luar kemampuan manusia normal. Kesurupan timbul diperkirakan sebagai akibat bunyi-bunyian yang khusus dan berirama statis dengan gerakan yang monoton. Pemain menari dengan berkonsentrasi terhadap keyakinan akan datangnya roh-roh. Mula-mula terasa pusing-pusing, seterusnya kehilangan daya pikir dan akhirnya menjadi kesurupan roh-roh halus. Sesuai dengan perkembangan jaman, seni kuda lumping yang selalu ditampilkan untuk mendatangkan roh-roh itu berkembang menjadi kesenian yang ditampilkan hanya untuk menyongsong datangnya raja-raja atau pemimpin sebagai tamu resmi yang dihormati. Meskipun demikian dalam penampilannya masih juga ditemukan pemain-pemain yang kesurupan, tetapi pada prinsipnya bukan lagi bertujuan untuk mendatangkan roh-roh halus. Sesuai dengan perkembangan jaman, kuda lumping tidak lagi dipertunjukkan dengan pemain yang kesurupan dan mendatangkan roh-roh halus. 

Bentuk tari kuda lumping jenis baru ini berkembang baik di beberapa tempat antara lain di Kabupaten Kendal, tepatnya di Desa Gondang Kec. Limbangan. Di sini kuda lumping sudah dikembangkan dengan kreasi-kreasi baru. sehingga gerak tari tidak lagi monoton. Para seniman dan seniwati dilatih dengan gerakan-gerakan baru yang dinamis dan indah sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas. Dengan demikian kini ada dua jenis tari kuda lumping yang dapat dinikmati, yaitu yang mengutamakan gerak tari yang enak ditonton dan jenis yang mengutamakan penampilan kesurupan pada pemainnya. Disamping itu, musik pengiring juga sudah sangat berkembang dari dulunya hanya menggunakan gamelan, kini sudah berkembang dengan iringan dangdut atau organ tunggal. Demikian pula bentuk kuda lumping. Saat ini bentuk kuda lumping lebih mengutamakan keindahan, dan bentuknya dibuat lebih kecil dibandingkan dengan kuda pada jathilan. Busana penari juga berubah sesuai dengan kemajuan jaman. Kalau jaman dulu cukup berpakaian seadanya kini memakai kostum yang lengkap. Bentuk tari lumping, seperti namanya menyesuaikan gerakannya dengan gerakan-gerakan kuda dan rangkaian ragam tarinya menggambarkan olah keprajuritan yang tegas dan berjiwa ksatria. Nama ragam tarinya antara lain, untu walang, kiring duap, congklang, tamburan, dan pincangan. 

Fungsi pertunjukan mengalami perubahan sangat nyata. Kalau dulu lebih banyak berfungsi sebagai pertunjukan yang diselenggarakan ketika berlangsung upacara tradisional, misalnya ketika berlangsung upacara bersih desa, kini lebih banyak berfungsi sebagai penyambutan tamu atau hiburan semata-mata. Dengan demikian pementasannya tidak lagi terikat oleh waktu dan tempat, tetapi dapat diselenggarakan di sembarang tempat. Bentuk pementasan kuda lumping juga sudah beraneka ragam dan disajikan sesuai dengan keperluan. Untuk kepentingan hari-hari besar atau pun keramaian desa sering dipentaskan kuda lumping dalam bentuk unit. Pemainnya terdiri dari tujuh hingga dua puluh satu orang. Dalam kegiatan yang lebih besar seperti peresmian proyek-proyek besar, sering dipentaskan dalam bentuk masai. Pemainnya biasanya terdiri dari dua puluh lima hingga seribu orang. Di samping itu dapat pula dipertunjukkan dalam bentuk pawai. Pemainnya cukup tujuh hingga dua puluh satu orang. Dalam bentuk pawai diperlukan gerakan-gerakan tertentu yang menarik perhatian bila akan melewati panggung kehormatan. Bentuk lainnya adalah bentuk sendratari. Bentuk seperti ini bisanya diselenggarakan di panggung atau gedung pertunjukan. Ceritera yang menjadi lakon dalam pertunjukan seperti ini biasanya lakon dari cerita Panji, yaitu lakon Asmorobangun dan lakon Kelono Asmorodono. 

Seni rakyat kuda lumping yang semula hanya digemari oleh masyarakat Jawa kini mulai dikenal dan digemari oleh masyarakat luar Jawa. Jathilan yang sangat tradisional kemudian berkembang menjadi tari kuda lumping dengan kreasi baru, membuat kesenian ini menarik untuk dinikmati. Bahkan wisatawan asing pun menggemari. Tari kuda lumping yang sudah sangat dikenal di bumi Nusantara sudah seyogyanya terus dikembangkan.

Selasa, 11 Februari 2014

Wisata Menanam Padi dan Memandikan Kerbau

Desa Wisata Gondang : Ayo Menanam Padi dan Memandikan Kerbau

Wisata Membajak Sawah dan Menanam Padi



Jika anak Anda bertanya : “Ayah, pohon nasi itu bentuknya seperti apa? Jawablah secara bijak. “Nak, pohon nasi itu namanya padi, untuk lebih jelasnya, ajaklah ia ke Desa Wisata Gondang. Anda sekeluarga akan merasakan pengalaman tak terlupakan yaitu belajar menanam padi dan memandikan kerbau di sungai. 

Desa Wisata Gondang terletak sekitar 10 km ke arah utara dari obyek wisata Candi Gedung Songo. Untuk menuju lokasi curug ini cukup mudah dan dapat dicapai dengan kendaraan pribadi atau umum serja jasa ojek motor dengan kondisi jalan yang sudah beraspal mulus berkelok-kelok. Akses jalan menuju Desa Gondang ini bisa ditempuh melalui Boja – Limbangan, atau dari arah Sumowono turun menuju Limbangan. 

Bila dari terminal Sumowono naik angkot menuju Limbangan dengan tarif Rp 4000 sekali jalan atau ojek motor dengan tarif Rp. 10.000,-. Turun di Desa Gondang. Altrnatif lain menumpang kendaraan bak terbuka yang banyak berlalu lalang mengankut sayuran. Tepat di sebelah jalan terdapat plang (papan nama) yang bertuliskan Desa Wisata Gondang. 

Di Desa wisata ini tersedia wisata menanam padi, membajak sawah dan memandikan kerbau. Pengunjung diajak turun ke sawah untuk belajar membajak dengan kerbau, setelah tanah siap kemudian dilanjutkan menanam padi dengan teknik tandur (menanam secara mundur). Setelah lelah menanam padi pengujung diajak ke sungai untuk membantu petani memandikan kerbau , jangan takut; kerbaunya sudah jinak kok. Dijamin para pengunjung akan merasakan sensasi belajar sambil bermain. Dengan mengetahui cara bertanam padi maka anak – anak akan mengetahui bahwa nasi yang setiap hari dimakan membutuhkan proses yang sangat panjang dari menanam sampai panen dan diolah menjadi beras. Dengan begitu anak – anak akan menghargai nasi dengan tidak menyia – nyiakannya karena butuh proses yang panjang untuk menghasilkannya. Selamat bersenang-senang…,

Senin, 10 Februari 2014

Air Terjun Pangleburgongso

Air terjun / curug Panglebur Gongso atau juga disebut oleh warga sekitar sebagai Curug Burgongso, berada di kaki bukit Gunung Ungaran. Curug ini memiliki ketinggian sekitar 8 m dan di bawahnya terdapat kolam yang dapat digunakan untuk mandi, berendam atau berenang. Air dari curug ini terasa dingin menyegarkan, sedangkan percikan air terjunnya bisa dimanfaatkan untuk memijat badan.



Curug Panglebur Gongso



Legenda
Mitos yang ada menyebutkan bahwa air terjun itu dulunya merupakan bekas pertapaan Aditya Kumbokarno, tokoh dalam pewayangan ramayana yang berujud raksasa tapi berhati ksatria, dalam usahanya melebur dosa yang gugur dalam pertempuran membela negaranya, Alengka. Nama "Panglebur Gongso" sendiri diambil dari ksatrian Kumbokarno berasal. Sebelum pergi raksasa ini meninggalkan jejak kaki yang sampai sekarang masih terlihat dibebatuan atas grojoggan. Selain itu terdapat juga sebuah goa, yang terletak di kanan bawah curug, yang menurut mitos masyarakat setempat tembus sampai kemasjid demak. Goa ini pada suatu kesempatan pernah dieksplorasi oleh beberapa mahasiswa yang hingga kedalaman 100 m tapi masih belum kelihatan ujungnya.

Lokasi
Terletak di jalan raya Limbangan - Sumowono Km.6, tepatnya di Desa Gondang, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Propinsi Jawa Tengah.
Peta dan Koordinat GPS:

Aksesbilitas
Terletak sekitar 10 km ke arah utara dari obyek wisata Candi Gedung Songo. Untuk menuju lokasi curug ini cukup mudah dan dapat di dicapai dengan kendaraan pribadi atau umum serja jasa ojek motor dengan kondisi jalan yang sudah beraspal mulus berkelok-kelok. Akses jalan menuju ke curug ini bisa ditempuh melalui Boja – Limbangan, atau dari arah Sumowono turun menuju Limbangan. 

Bila dari terminal Sumowono naik angkot menuju Limbangan dengan tarif Rp 4000 sekali jalan atau ojek motor dengan tarif Rp. 10.000,-. Turun di Desa Gondang. Altrnatif lain menumpang kendaraan bak terbuka yang banyak berlalu lalang mengankut sayuran.

Selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan berjlan kaki dari area parkir menuju area curug dengan waktu tempuh sekitar 15 menit.

Jalan menuju lokasi


Fasilitas dan Akomodasi
Tersedia area untuk parkir dan juga bayak terdapat warung-warung penjual makanan serta terdapat juga gasebo yang dapat dimanfaatkan untuk bersantai.
Untuk biaya retribusi atau tiket masuk setiap pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp 3000 per orang.

SELAMAT BERWISATA, RASAKAN SENSASINYA...


Selayang Pandang








Gondang adalah desa di Kecamatan Limbangan, Kab. Kendal, Jawa Tengah.  Terletak pada ketinggian 800 Mdpl dengan koordinat 7°11'26"S 110°17'30"E dan merupakan bagian dari kaki Gunung Ungaran. Seperti kebanyakan wilayah di pegunungan lainnya, Desa Gondang berhawa dingin sejuk khas pegunungan. 
Desa Gondang terdiri dari 4 Dusun yaitu :
- Krajan Gondang
- Penggik
- Nambangan
- Beku

Desa Gondang memiliki luas wilayah sebesar 340,332 Ha serta jumlah penduduk sebanyak 1.905 orang. Mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah sebagai petani serta mengurusi ternak seperti kambing dan sapi.

Desa Gondang memiliki berbagai potensi alam yang sangat luar biasa, sehingga tidak salah jika Desa Gondang dicanangkan sebagai desa wisata. Potensi alam yang dimiliki diantaranya : 
- Air Terjun Pangleburgongso 
- Goa Panglebur Gongso 
- Bumi Perkemahan 
- Wisata pertanian, serta
- Wisata budaya

Dengan banyaknya potensi yang dimilikinya, diharapkan pemerintah Kab. Kendal segera mewujudkan Desa. Gondang sebagai Desa Wisata bukan hanya sebagai wacana.